Mencari Sarang Angin oleh Suparto Brata
harga Rp 95.000
tebal : 726 hlm
cetakan tahun 2005, Grasindo
harga Rp 95.000
tebal : 726 hlm
cetakan tahun 2005, Grasindo
Novel Mencari Sarang Angin ini merupakan sebuah bahan memori kolektif yang sangat berharga. Di situ kita yang tidak pernah mengalami Surabaya era tahun dapat menggali topik sejarah lokal yang sangat manusiawi sajiannya. Berbeda dengan buku sejarah yang memiliki agenda politik , sebuah novel justru tidak bisa ditulis dengan muatan-muatan tersembunyi. Sejarah yang melatari kisah Darwan mencari "susuhane angin" merupakan sejarah jujur yang tidak berat sebelah. Orang Belanda, orang Jawa, orang Jepang muncul dengan porsi manusiawi. Keunggulan novel dibanding buku sejarah non fiksi inilah yang membuat pembaca dapat memahami sejarah dengan sewajarnya, tidak pro-kontra secara membuta. Buku sejarah mungkin direvisi, sebuah novel tidak bisa direvisi! Untuk itulah penulis novel sejarah memiliki tanggung jawab luar biasa besar dalam menyusun karyanya.
Novel ini memiliki berbagai kluster topik lokal yang sangat informatif. Istilah uang-uangan misalnya, penggemar numismatik tidak akan menduga dapat menemukan istilah-istilah koin yang tidak muncul dalam katalog atau sumber-sumber resmi numismatik. Siapa sangka segemik (bahasa Madura) yang bernilai 25 Rupiah ternyata dulunya bermakna 2.5 sen alias segoden (yang kita sering dengar segobang atau sebenggol)?
Sejarah lokal Surabaya saat ini masih didominasi dengan kisah kepahlawanan arek-arek Suroboyo. Novel ini memiliki bab akhir yang menjadi kluster topik perjuangan arek Suroboyo dalam porsi realisme, tanpa imbuhan heroisme yang terlalu sering kita dengar. Di bab itu secara detil kita seakan mendengar kakek kita yang melihat sendiri jalannya pertempuran Surabaya bercerita dengan susunan detik ke detik .
Kluster topik yang tidak kalah istimewa adalah dunia percetakan dengan teknologinya pada saat itu dan semangat menulis yang menjiwai Darwan dalam pencariannya. Jika Inggris membanggakan novelisnya Charles Dickens, maka Surabaya memilik Suparto Brata! Jika penggemar Dickens menelusuri kota London yang tertulis di novel-novelnya, maka ruang kota Surabaya dapat direkonstruksi dari novel-novel Suparto Brata. Bahkan jalan Ketandan, Plemahan, Jedong yang tidak terlalu istimewa jadi ingin kita napak tilasi: misalnya menyusuri Darwan memanggul Yayi setelah disiksa semalaman dan berdarah-darah dari gedung Kenpetai melewati Glembongan dan tiba di rumah Darwan di Ketandan karena tidak ada angkutan umum.
Selama membaca novel ini kita terbawa haru biru perjuangan seorang anak manusia dengan pakem-pakem Suroboyo yang baru dikenalnya. Berangkat dari tradisi kraton Solo, Darwan melihat situasi sosial Surabaya dengan kaca mata yang sangat menarik. Perhatikan acara nikah Rokhim yang sangat Surabaya, adu burung merpati dengan taruhannya, ludruk dan pekan raya jaarmarkt yang dinanti-nantikan penduduk Surabaya.
Jika ada buku pegangan untuk para pemirsa STD, maka novel ini merupakan salah satu di list teratasnya,bersandingan dengan Bumi Manusianya Pramoedya Ananta Toer. Dengan buku-buku panduan memori kolektif semacam ini, penduduk Surabaya boleh bersyukur karena memiliki titik awal untuk membangun memori kolektif yang dinamis, menjadi lebih utuh dan berdimensi.
Tentang Penulis :
Suparto Brata lahir di Surabaya, Jawa Timur, 27 Februari 1932. Ia anak nomor delapan dari pasangan Raden Suratman Bratatanaya dengan Raden Ayu Jembawati. Waktu Suparto lahir, ayahnya menganggur, sementara ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Masa kecil ia habiskan dengan mengikuti ibunya yang berpindah-pindah tempat kerja dari satu kota ke kota lain.
Suparto Brata lahir di Surabaya, Jawa Timur, 27 Februari 1932. Ia anak nomor delapan dari pasangan Raden Suratman Bratatanaya dengan Raden Ayu Jembawati. Waktu Suparto lahir, ayahnya menganggur, sementara ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Masa kecil ia habiskan dengan mengikuti ibunya yang berpindah-pindah tempat kerja dari satu kota ke kota lain.
Setelah ibunya tak lagi menjadi pembantu rumah tangga dalam keluarga salah seorang kakaknya di Probolinggo, pada tahun 1947 Suparto kembali ke Surabaya, tempat ia meneruskan sekolah di SMPN Jalan Kepanjen 1. Namun, karena terkendala berbagai hal, meski nilai rapor untuk mata pelajaran IPA-nya bagus, ia tidak bisa meneruskan sekolah ke tingkat lebih tinggi.
Selulus SMP, Suparto langsung bekerja. Pertama di Rumah Sakit Kelamin (1951) dan kemudian di Kantor Pos, Telepon dan Telegrap di Surabaya, sambil ia melanjutkan sekolah di SMAK St. Louis. Setelah tamat SMA pada tahun 1957, ia meneruskan lagi bekerja di Kantor Telegrap (dan kemudian kembali berpindah-pindah tempat kerja dan profesi, mulai di PDN Jaya Bhakti Cabang Surabaya (menjadi pedagang kapuk/pengarang/wartawan freelance (dan menjadi pegawai Pemkot Surabaya sampai pensiun pada Suparto menulis sejak tahun 1952. Karangannya dimuat di berbagai koran dan majalah, termasuk Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah, Tanahair, Surabaya Post, Jawa Pos, Kompas, dan Indonesia Raya. Sejak 1958 juga menulis dalam bahasa Jawa, yang hasilnya diterbitkan di koran-koran dan majalah seperti Panjebar Semangat, Jaya Baya, Djaka Lodang, Mekar Sari, dan Damar Jati.
Di antara puluhan karya sastra Suparto Brata yang sudah dibukukan antara lain yng berjudul Surabaya Tumpah Darahku, Saksi Mata, Gadis Tangsi, Saputangan Gambar Naga, Mencari Sarang Angin, Kremil, Republik Jungkir Balik, Donyan Wong Culika, Lelakon Si lan Man, Ser! Randha Cocak, Suparto Bratas Omnibus, dan Pawstri Tanpa Idhntiti.
Nama Suparto Brata tercatat dalam buku Five Thousand Personalities of the World (edisi VI, 1988), terbitan The American Biographical Institute.
No comments:
Post a Comment